Minggu, 09 Desember 2012

Lies, Damned Lies and Statistics ?


“There are three kinds of lies : Lies, Damned Lies, and Statistics” telah dipopulerkan oleh Mark Twain. Mengapa sering terucap kata-kata itu oleh sejumlah orang yang berbicara mengenai statistik? Apakah statistik itu merupakan sebuah media yang bisa dijadikan kebohongan yang luar biasa ? Bisa saja hal tersebut terjadi jika akhlak dan moral statistisi tidak dijadikan prinsip yang utama. Atau mungkin pendapat itu ada dikarenakan tidak sesuainya data terhadap kenyataan di lapangan?
Seperti contoh hasil kinerja Pemprov DKI dalam beberapa tahun terakhir berdampak pada penurunan angka kemiskinan maupun pengangguran. Tak hanya itu, anggaran di sektor pendidikan, indeks pembangunan manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi  maupun kesehatan warga Jakarta semakin meningkat. Bahkan, pendapatan perkapita warga Jakarta saat ini di atas 10 ribu dolar AS per tahun. Artinya, tingkat kesejahteraan warga Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, tiap kita telusuri di berbagai daerah di Jakarta masih banyak pengamen di jalan, banyak anak-anak di bawah umur yang sudah bekerja, kejahatan masih menjadi ancaman,dan pemukiman kumuh di kanan kiri sungai masih terlihat. Terkadang data tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Apakah hal tersebut selalu membuat data statistik disalahkan ? Jawabnya tidak. Hal bisa terjadi jika terdapat kesenjangan diantara pendapatan warga di Jakarta. Menurut data SUSENAS 2005 kemiskinan relatif di Jakarta sebesar 41,31 % artinya perbandingan pendapatan seseorang dengan rata-rata pendapatan seluruh masyarakat di suatu wilayah, hal tersebut sudah menggambarkan bahwa terdapat ketimpangan pendapatan warga.
Sejumlah oknum mengklaim bahwa pemerintah berbohong mengenai data kemiskinan. Pemerintah berusaha untuk membela diri tetapi membuat situasi semakin buruk. Pemerintah dinilai kurang arif dan tidak mau menerima masukan konstruktif. Salah satu kebohongan lama yang disebutkan adalah perihal penyampaian angka kemiskinan. Pemerintah dituduh berbohong karena menyatakan jumlah penduduk miskin 2010 adalah 31,02 juta jiwa, padahal data penduduk yang layak menerima beras miskin 70 juta jiwa. Pertanyaannya, mengapa sampai ada dua angka kemiskinan yang jauh berbeda, padahal keduanya sama-sama berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah. Selama ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret kemiskinan. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak dasar? Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai.
Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Sebab lain adalah penghitungan kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki pendapatan/ pengeluaran dibawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk miskin ini didasarkan pada data sample bukan data populasi sehingga nilainya merupakan estimasi.
Data kemiskinan makro yang terakhir dikeluarkan BPS adalah posisi Maret 2010 ketika jumlah penduduk miskin 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen total penduduk Indonesia. Data ini hanya menunjukkan estimasi jumlah dan persentase penduduk miskin yang berguna untuk perencanaan serta evaluasi program kemiskinan dengan target geografis. Akan tetapi, data itu tidak dapat menunjukkan siapa dan di mana alamat penduduk miskin sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Sampai saat ini baru dua kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober 2005 dan September 2008. Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5 juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang, diperoleh angka 70 juta jiwa. Jadi, sebetulnya tak ada dua angka kemiskinan. Data 31,02 juta menunjukkan penduduk miskin, sementara data 70 juta menunjukkan penduduk miskin plus hampir miskin. Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin di Indonesia. Mereka tidak tergolong miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Sedikit gejolak ekonomi akan menyebabkan mereka mudah berubah status menjadi miskin. Maka, setiap kebijakan yang diambil harus memperhitungkan dampaknya bukan hanya pada rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin. Sehari-hari keduanya sering tak berbeda nyata.
Ternyata perbedaan konsepsi dan beberapa faktor di atas membuat beberapa oknum berpendapat kontra yang memang secara real terjadi kecurigaan akibat data statistik. Data statistik memang rawan untuk dijadikan suatu kebohongan. Mungkin terdapat oknum yang melakukan kebohongan di bidang statistik untuk kepentingan politik atau untung menguntungkan salah satu pihak. Tetapi hal tersebut harus dihindari karena telah melanggar kode etik statistik. Statistisi harus berprinsip independen yang artinya tidak terpengaruh dan dipengaruhi oleh pihak manapun. Statistik tidak boleh memihak manapun. Data statistik harus terhindar dari penyalahgunaan dan interpretasi yang salah. Selain itu data statistik harus sesuai dengan fakta sebenarnya (objektif) dan mampu secara tepat menggambarkan keadaan yang diukur (akurat). Asalkan statistisi mampu memegang teguh kode etik statistik maka tidak akan ada data yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang menguntungkan secara illegal pada suatu oknum dan tak akan ada kebohongan besar yang bisa ditimbulkan oleh data statistik. There are three kinds of lies : Lies, Damned Lies, and not Statistics but Human Does.

0 komentar :

Posting Komentar