“There are three kinds of lies :
Lies, Damned Lies, and Statistics” telah dipopulerkan oleh
Mark Twain. Mengapa sering terucap
kata-kata itu oleh sejumlah orang yang berbicara mengenai statistik? Apakah
statistik itu merupakan sebuah media yang bisa dijadikan kebohongan yang luar
biasa ? Bisa saja hal tersebut terjadi jika akhlak dan moral statistisi tidak
dijadikan prinsip yang utama. Atau mungkin pendapat itu ada dikarenakan tidak
sesuainya data terhadap kenyataan di lapangan?
Seperti
contoh hasil kinerja Pemprov DKI dalam beberapa tahun terakhir berdampak pada
penurunan angka kemiskinan maupun pengangguran. Tak hanya itu, anggaran di
sektor pendidikan, indeks pembangunan manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi
maupun kesehatan warga Jakarta semakin meningkat. Bahkan, pendapatan perkapita
warga Jakarta saat ini di atas 10 ribu dolar AS per tahun. Artinya, tingkat
kesejahteraan warga Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan pada tahun-tahun
sebelumnya. Tetapi, tiap kita telusuri di berbagai daerah di Jakarta masih
banyak pengamen di jalan, banyak anak-anak di bawah umur yang sudah bekerja, kejahatan
masih menjadi ancaman,dan pemukiman kumuh di kanan kiri sungai masih terlihat.
Terkadang data tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Apakah hal tersebut
selalu membuat data statistik disalahkan ? Jawabnya tidak. Hal bisa terjadi
jika terdapat kesenjangan diantara pendapatan warga di Jakarta. Menurut data
SUSENAS 2005 kemiskinan relatif di Jakarta sebesar 41,31 % artinya perbandingan
pendapatan seseorang dengan rata-rata pendapatan seluruh masyarakat di suatu
wilayah, hal tersebut sudah menggambarkan bahwa terdapat ketimpangan pendapatan
warga.
Sejumlah
oknum mengklaim bahwa pemerintah berbohong mengenai data kemiskinan. Pemerintah
berusaha untuk membela diri tetapi membuat situasi semakin buruk. Pemerintah
dinilai kurang arif dan tidak mau menerima masukan konstruktif. Salah satu
kebohongan lama yang disebutkan adalah perihal penyampaian angka kemiskinan.
Pemerintah dituduh berbohong karena menyatakan jumlah penduduk miskin 2010
adalah 31,02 juta jiwa, padahal data penduduk yang layak menerima beras miskin
70 juta jiwa. Pertanyaannya, mengapa sampai ada dua angka kemiskinan yang jauh
berbeda, padahal keduanya sama-sama berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Mencoba
menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah. Selama ini belum satu
pun metodologi yang sempurna memotret kemiskinan. Secara umum, kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat.
Hanya
terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga bisa mengundang
perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan bermartabat.
Apa pula yang termasuk hak-hak dasar? Apalagi, tidak semua hak dasar dapat
dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan
dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Dari
definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sulit
mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai.
Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Sebab
lain adalah penghitungan kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki pendapatan/
pengeluaran dibawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan
penduduk miskin ini didasarkan pada data sample bukan data populasi sehingga
nilainya merupakan estimasi.
Data
kemiskinan makro yang terakhir dikeluarkan BPS adalah posisi Maret 2010 ketika
jumlah penduduk miskin 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen total penduduk
Indonesia. Data ini hanya menunjukkan estimasi jumlah dan persentase penduduk
miskin yang berguna untuk perencanaan serta evaluasi program kemiskinan dengan
target geografis. Akan tetapi, data itu tidak dapat menunjukkan siapa dan di
mana alamat penduduk miskin sehingga tidak operasional untuk program penyaluran
bantuan langsung, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin,
dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Sampai saat ini baru dua kali BPS
mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober 2005 dan September 2008. Data yang
diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya
rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit
di atas garis kemiskinan. Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5
juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang,
diperoleh angka 70 juta jiwa. Jadi, sebetulnya tak ada dua angka kemiskinan.
Data 31,02 juta menunjukkan penduduk miskin, sementara data 70 juta menunjukkan
penduduk miskin plus hampir miskin. Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya
penduduk hampir miskin di Indonesia. Mereka tidak tergolong miskin, tetapi
sangat rentan terhadap kemiskinan. Sedikit gejolak ekonomi akan menyebabkan
mereka mudah berubah status menjadi miskin. Maka, setiap kebijakan yang diambil
harus memperhitungkan dampaknya bukan hanya pada rumah tangga miskin, tetapi
juga rumah tangga hampir miskin. Sehari-hari keduanya sering tak berbeda nyata.
Ternyata
perbedaan konsepsi dan beberapa faktor di atas membuat beberapa oknum
berpendapat kontra yang memang secara real terjadi kecurigaan akibat data statistik.
Data statistik memang rawan untuk dijadikan suatu kebohongan. Mungkin terdapat
oknum yang melakukan kebohongan di bidang statistik untuk kepentingan politik
atau untung menguntungkan salah satu pihak. Tetapi hal tersebut harus dihindari
karena telah melanggar kode etik statistik. Statistisi harus berprinsip
independen yang artinya tidak terpengaruh dan dipengaruhi oleh pihak manapun.
Statistik tidak boleh memihak manapun. Data statistik harus terhindar dari penyalahgunaan
dan interpretasi yang salah. Selain itu data statistik harus sesuai dengan
fakta sebenarnya (objektif) dan mampu secara tepat menggambarkan keadaan yang
diukur (akurat). Asalkan statistisi mampu memegang teguh kode etik statistik
maka tidak akan ada data yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang menguntungkan
secara illegal pada suatu oknum dan tak akan ada kebohongan besar yang bisa
ditimbulkan oleh data statistik. There
are three kinds of lies : Lies, Damned Lies, and not Statistics but Human Does.
0 komentar :
Posting Komentar